Di hadapanmu, aku ingin selalu
memasang senyuman. Namun, bertemu denganmu pun entah kapan. Sejauh langkah ini
memanjang, semua masihlah sebuah harapan, belum jua mewujud kenyataan. Bisakah
suatu hari kita sengaja berjanji untuk meluangkan waktu demi sebuah pertemuan?
Meski pertemuan itu akan berakhir dengan perpisahan, aku akan tetap datang membawa
angan. Meski pertemuan itu akan menjadi sebuah penutupan, aku akan tetap
membawa impian.
Ketahuilah, saat ini aku tak lagi
begitu keras kepala menjadikanmu satu-satunya keinginan. Dahulu memang pernah,
tetapi tak lagi setelah kita memutuskan untuk tidak berjalan di satu arah,
menjemput masa depan bersama dengan cerah. Sungguh, ketahuilah, aku tak lagi
berjuang keras untuk menjadikan diriku seseorang yang kauingat ketika membuka
mata untuk kali pertama atau ketika menutup mata di penghujung hari yang lelah.
Aku telah diliputi oleh kesadaran
bahwa kita takkan lagi bersama sebagai dua orang yang saling mencinta seperti
yang dahulu pernah ada. Aku tahu semuanya takkan lagi ada. Kita telah sepakat
untuk mengakhiri segalanya. Kita telah bertekad untuk menyelesaikan semuanya.
Namun, satu yang perlu kautahu; segala yang kita anggap selesai belum tentu
benar-benar berakhir jika Tuhan belum menginginkan kita untuk usai.
Sebagai manusia, kita hanya berusaha
dan berencana. Tuhanlah yang menentukan segalanya. Maka, aku ingin merencanakan
sesuatu; aku ingin berteman denganmu. Sungguh, aku ingin menjadi temanmu. Bukan
lagi menjadi teman hidup, tentu. Kali ini, aku memintamu menjadi temanku dan
membiarkan diriku menjadi temanmu. Bisakah kita berteman hingga akhir waktu?
Tak perlu takut, aku benar-benar
tidak lagi mengharapkanmu seperti dulu. Tak usahlah kau khawatir, aku
benar-benar sudah sematang-matangnya berpikir. Aku akan memperlakukanmu
selayaknya teman, bukan lagi sosok impian. Aku akan tertawa bersamamu dengan
canda, tanpa diiringi gejolak dalam dada. Aku akan duduk di sampingmu sebagai
teman, bukan seseorang yang akan dijadikan pasangan.
Mari kita lalui waktu bersama
kembali. Tidak hanya berdua, mari kita membentuk keluarga baru. Untukmu dan
untukku, mari kita membuat lingkar pertemanan yang terasa seperti keluarga,
bukan hanya datang untuk kemudian menghilang. Mari kita menjalani hidup dalam
cerita baru, dalam kisah yang jauh berbeda dengan dulu.
Jika benar kau tak lagi menyimpan
rasa, aku yakin kau pun bisa. Jika sungguh kau tak lagi melihatku sebagai
seseorang yang pada masa depan akan membersamaimu sepanjang waktu, aku percaya
kau adalah teman yang sempurna. Jika Tuhan tidak menghendaki kita menjadi
pasangan, aku berharap Ia merestui kita sebagai teman. Sungguh, sungguh, aku
ingin tetap bisa menjadi bagian dari hidupmu, takpeduli jika aku tidak pernah
lagi menjadi bagian dari hatimu.
Dulu, kaulah satu-satunya angan. Di
dalam dirimu, kutemukan bara yang menghangatkan jutaan khayalan. Di dalam
hatimu, kutemukan sesuatu yang kausembunyikan dari seluruh dunia, tetapi tidak
denganku. Di dalam jiwamu, kutemukan cermin jiwaku. Kau adalah angan yang
sempurna untukku yang hidup di perbatasan kenyataan.
Di mana pun kau berada, semoga kau
merasakan. Ke mana pun kaupergi, semoga kau mendengarkan. Aku memanggilmu,
teman. Aku ingin bertemu denganmu, mendengar leluconmu, melihat wajahmu yang
dihiasi senyuman. Aku ingin menjadi bagian dari mereka yang melangkah bersamamu
meraih impian. Aku sungguh ingin berteman dengan dirimu yang dulunya mengalahkan
sekuat-kuat renjana, tetapi kini menyaingi setipis-tipis rencana. Menjadi
temanmu akan membuatku tahu bahwa bahagia bisa berupa berteman angan.
Suka sekali😍
ReplyDelete