Tanganku mendadak berhenti. Bola di tangan terlepas begitu saja, memantul dengan suara yang menggema di kepala. Fokusku pecah. Konsentrasiku berantakan. Sial. Aku langsung berjalan gontai ke sisi lapangan. Segera kuteguk air mineral dari botol yang kusimpan di dalam ransel. Sebagian airnya kugunakan untuk mengguyur wajah.
Benar-benar sial. Bagaimana bisa aku
tiba-tiba seperti ini? Saat melihat Rion untuk mengoper bola, sekelebat aku
merasakannya. Aku merasakan kehadirannya. Ya, kehadiran perempuan itu. Ajaib.
Apakah karena Rion sahabatnya? Sungguh, entah kenapa aku merasa yang kutatap
beberapa saat lalu adalah sepasang mata perempuan itu, bukan sepasang mata
Rion.
Aku menunduk, pikiranku berkecamuk.
Ada yang tidak beres. Kali ini bahkan aku merasa bahwa perempuan itu duduk di
sampingku. Saat aku menoleh, yang kutemukan justru adalah Rion. Sejak kapan dia
duduk di sini? Aku mendengus kesal sambil membuang muka.
“Lo ngerasa, ya, Ven?” tanya Rion
tiba-tiba.
Aku menoleh lagi padanya. Dahiku
berkerut. “Maksud lo?”
“Vega.”
Jantungku terasa berhenti berdetak mendengar
nama perempuan itu. Setelah begitu lama tak pernah bertemu, aku kira aku akan
biasa saja. Namun, mendengar namanya pun ternyata membuatku menahan napas tanpa
disadari.
“Vega pernah bilang ke gue, katanya
dia ngelihat lo di mana-mana. Gue ketawa saat dia bilang itu. Dia emang lucu.
Saat itu gue pikir mungkin lo udah kayak setan yang menghantui dia ke
mana-mana, tapi gue salah, maksud Vega bukan itu,” tutur Rion sembari mengenang
kejadian yang membekas baginya itu.
Mendengar cerita Rion justru
membuatku semakin kalut, tidak menenangkan sedikit pun. “Kita kumpul buat
latihan, bukan buat bahas dia,” ucapku tegas.
“Dia bakal pergi, Ven.”
Hening. Aku taktahu apa yang kurasakan
sekarang. Harusnya aku biasa saja. Harusnya. Namun, entah badai apa yang
menerjang hatiku saat ini. Aku benar-benar tak bisa menghalaunya. “Kenapa lo
bilang itu ke gue?”
Rion menepuk bahuku lalu berkata,
“Dia enggak mungkin bilang ke lo, kan?”
Saat Rion mengatakan itu, mata yang
kulihat kini benar-benar adalah matanya, bukan mata perempuan itu lagi. Ah,
kenapa rasanya sulit untuk menyebutkan namanya? Sejak kapan aku menjadi seperti
ini? Aku merasa asing pada diriku sendiri juga pada seseorang yang pernah
begitu dekat denganku.
“Apa yang lo rasain tadi, mungkin
itu yang selama ini Vega mau. Gue pernah nanya ke Vega, apa yang paling dia mau
kalau gue ketemu sama lo. Gue kira dia mau nitip salam, pamit, atau apalah itu,
tapi ternyata yang dia mau adalah minjam mata gue buat lihat lo main basket untuk
terakhir kalinya,” ujar Rion, lalu dia melanjutkan, “dan kayaknya gue udah
mengabulkan permintaannya. Lo sendiri yang ngerasain kalau dia ada di mata
gue.”
Sial! Aku taktahu harus menjawab
apa. Rasanya seluruh alfabet tersangkut di tenggorokan. Apa yang dikatakan oleh
Rion membuatku merasa tersudutkan. Benar. Dia benar. Aku memang merasakannya.
Sudah seperti orang gila saja aku kali ini.
“Lo enggak mau ketemu dia?” tanya
Rion, lebih bernada meminta.
Aku menggeleng sambil menjawab,
“Enggak bisa.”
Rion langsung bertanya, “Kenapa?”
“Enggak tahu,” jawabku sembari
mengedikkan bahu. “Emangnya dia mau ke mana? Bukannya kemarin-kemarin lo bilang
kalau dia udah kerja di sini?”
Rion menatap ke arah ring ketika ada
bola yang baru saja masuk dan membuat ring itu bergetar. “Amerika. NASA,”
jawabnya pelan.
Mataku membelalak. “NASA yang itu
maksud lo?” tanyaku penuh penekanan pada kata “itu”.
Rion mengangguk tanpa menoleh
padaku. Dia masih melihat ke arah ring sembari mengatakan, “Dia lulus kuliah
sarjana jurusan astronomi di ITB dan langsung dapat kerja di LAPAN. Terus dia
mau jadi bagian dari NASA.” Rion kemudian mengambil tasnya yang diletakkan di
sebelah tasku. Dia mengeluarkan ponsel, kemudian menunjukkan sesuatu padaku.
Astaga ..., apa perempuan itu
benar-benar akan pergi ke sana? Aku kira dia tidak seserius itu. Dia yang anak
rumahan dan sehari-harinya hanya belajar, belajar, dan belajar, kini tiba-tiba
akan pergi ke luar negeri? Berteman pun dia tidak pandai, dari dulu sampai
sekarang orang di sekelilingnya masih itu-itu saja. Bagaimana mungkin dia bisa
bertahan hidup di negeri orang?
“Gue kira dia akan selalu di sini. Bahkan,
kami juga. Kami enggak pernah mengira kalau dia bakal pergi. Semua udah
ngebujuk dia untuk tetap di sini, tapi enggak ada yang berhasil. Si keras
kepala itu ... tolong tahan dia, Ven.” Rion menoleh padaku dan menatapku dengan
tatapan memohon.
Aku menelan ludah. Jadi, Rion
benar-benar ingin aku menemui perempuan itu dan menahannya untuk tetap di sini
tanpa pernah pergi? Gila, yang benar saja. “Kalau kalian aja enggak berhasil,
apalagi gue?” dalihku menolak permintaan aneh itu.
“Dia cuma bisa nurut sama lo,” jawab
Rion sambil tersenyum. “Vega pernah bilang ke gue, katanya dia pernah tertarik
sama gue sebelum dia ngelihat lo. Gue ketawa saat itu karena dia begitu
polosnya nyatain perasaan tanpa malu sedikit pun. Ternyata, gue yang salah. Gue
kira dia pernah suka sama gue, tapi dia bilang kalau tertarik yang dia maksud
itu masih jauh dari rasa suka. Apalagi, cinta. Makanya, dia bisa bilang
selancar itu. Katanya, kalau dia enggak pernah ngelihat lo, mungkin gue yang
dicintai dia sekeras ini.”
Ada perasaan tak nyaman saat
mendengar cerita Rion yang satu itu. Cemburu? Jangan sampai. Mana mungkin aku
cemburu pada sahabatku sendiri? Namun, entah kenapa, tak dapat dimungkiri bahwa
aku takingin perempuan itu mencintai lelaki lain seperti dia mencintaiku.
“Kenapa lo diam aja? Cemburu?” tanya
Rion lalu tertawa puas.
Aku hanya mendelik tanpa mengatakan
apa-apa.
“Gue sayang dia karena dia sahabat
terbaik gue. Dia juga sayang gue dan akan lebih memilih kehilangan lo daripada
kehilangan gue, tapi kami para sahabatnya pun tahu bahwa sampai kapan pun, dia
enggak akan pernah mencintai salah satu di antara kami. Dia suka cerita tentang
cowok-cowok yang deketin dia. Kami selalu dukung dia untuk buka lembar baru,
buka hati, tapi ....” Rion tiba-tiba berhenti. Dia malah melihat bola basket
yang berpantulan di tengah lapangan.
“Tapi?” tanyaku akhirnya karena
kesal dibuat penasaran.
Rion menoleh padaku. Dia tersenyum
kemudian berkata, “She will always say ‘no’ because her ‘yes’ is only for you.”
“Kapan dia berangkat?” Aku bertanya
tanpa tedeng aling-aling. Aku benar-benar merasa terusik setelah mendengar
semua yang diceritakan oleh Rion. Perempuan itu selalu bisa mengubrak-abrik
hatiku yang bahkan sudah tak lagi utuh.
“Malam ini,” jawab Rion singkat,
padat, dan jelas.
Hatiku terasa seperti disetrum. Aku
langsung melihat jam yang melingkar di tangan kiri. Pukul 15.10. Aku
membereskan tas dengan buru-buru seperti orang kesetanan. Tanpa pamit pada
teman-teman lain yang masih asyik di lapangan, aku mengangguk pada Rion dan
langsung pergi.
***
Setelah setengah berlari ke tempat
parkir, aku malah merasa haus dan lapar. Pagi tadi aku tak sarapan karena entah
kenapa aku sama sekali tidak nafsu makan. Seharusnya aku langsung memasukkan
kunci motor dan segera berangkat, tetapi aku malah melangkah ke arah swalayan
yang ada di sebelah tempat parkir.
Aku mematung ketika melihat
seseorang yang baru keluar dari swalayan. Tidak salah lagi, itu adalah dia.
Entah anugerah atau musibah, dia berjalan ke arah tempat parkir. Aku yang masih
berada di sekitar tempat parkir pun merasa kelabakan.
Setelah memantapkan hati, akhirnya
aku memutuskan untuk menghampirinya. Malam nanti atau sore ini bagiku tak
berbeda jauh, apa yang kukatakan akan sama saja pada akhirnya.
Dia
belum menyadari keberadaanku ketika aku mulai melangkah ke arahnya. Aku bahkan
sudah bisa melihat apa belanjaan yang dibawanya. Kalau tidak salah hitung, ada
lima kotak Honey Stars yang terlihat jelas. Aku menggelengkan kepala. Dia masih
saja seperti dulu, membeli sereal yang satu itu sudah seperti mau berdagang
saja, tak pernah hanya membeli satu atau dua kotak, minimal tiga katanya.
Gara-gara
makanan favoritnya itu, aku kadang memanggilnya “Honey Star” dengan maksud menganggapnya bintang
kesayangan. Biasanya orang-orang memanggil orang yang disayanginya dengan “honey”,
tetapi aku menambahkannya dengan “star” karena bagiku perempuan itu
memanglah seperti bintang.
Sejak dulu, aku merasa dia selalu
berada jauh di atasku. Maksudku, dia seperti takkan pernah bisa kuraih. Dia
bersinar, tetapi begitu jauh dan tak tergapai. Dia ada untuk menerangi hatiku
yang gelap, tetapi aku tak pernah bisa menyentuhnya barang sekejap.
Matanya gemerlap mengerjap ketika
dia menceritakan mimpinya padaku. Perempuan yang memiliki banyak mimpi itu
seolah-olah memiliki dunia sendiri yang hanya bisa ditinggali olehnya. Bahkan,
aku pun tak bisa memasukinya. Aku terkadang merasa dia hidup di dunia yang
berbeda denganku. Dia tahu betul ingin menjadi apa, sedangkan aku hingga kini
taktahu akan menjadi apa.
Ketika aku bermain basket, entah
kenapa aku terkadang memikirkannya. Setiap kali aku akan melempar bola ke dalam
ring, aku seperti melihat bintang di langit. Aku harus menengadahkan kepala
atau bahkan melompat untuk dapat meraih ring itu. Namun, seberapa tinggi pun
aku melompat, rasanya aku tak bisa meraih perempuan itu.
Dia berhenti melangkah ketika aku
sudah berada tepat di depannya. Dia yang sedari tadi menunduk akhirnya
mendongak. Sepasang mata kami bertemu. Aku menatapnya tepat ke manik mata
perempuan itu. Lama. Tanpa berkedip.
Dia akhirnya memutuskan kontak mata
itu, kembali menunduk, tetapi tidak bergerak, tidak hendak melangkah untuk
meninggalkanku meskipun nanti malam dia akan benar-benar meninggalkanku.
Aku ingin mengatakan sesuatu,
mungkin sebenarnya juga banyak yang ingin kukatakan, tetapi rasanya sulit
sekali. Lidahku kaku. Setelah beberapa saat, yang keluar dari mulutku adalah,
“Ve.”
Aku melihat perempuan itu
mengeraskan genggamannya pada tas belanja yang dibawanya. Entah aku harus
menyesal atau tidak setelah memanggilnya seperti itu. Seumur hidupnya, hanya
aku yang memanggilnya “Ve”. Baik dia maupun aku sama-sama tahu bahwa itu adalah
panggilan khusus di antara kami.
“Jangan menahanku untuk pergi,
keputusanku sudah bulat.” Perempuan itu berkata dengan nada bicara yang tak
dapat kuartikan.
Ingin aku melihat wajahnya, bukan
melihat dia menunduk terus seperti itu. Ingin aku melihat ekspresinya ketika
mengatakan kalimat itu yang bagiku terasa seperti perintah, tetapi juga seperti
... pasrah? Tunggu, kenapa dia tahu aku akan menahannya pergi?
“Permainanmu bagus. Aku suka,”
katanya sebelum aku sempat mengeluarkan kalimat barang satu saja.
“Itu ....” Sial. Aku mendadak gugup.
Apa-apaan jantungku ini? Tidak bisakah diajak kompromi sekali ini saja? Jangan
sampai aku kelihatan memalukan di depannya. “Kamu serius? Apa kerja di sini
enggak cukup?” tanyaku mengalihkan pembicaraan.
Dia menggeleng. “Aku enggak akan
bisa berkembang kalau terus di sini.”
“Tapi kamu udah sejauh ini, Ve. Kamu
selalu berprestasi sejak kecil, kamu bahkan udah lulus kuliah dan sekarang udah
kerja, sedangkan aku masih ngurusin skripsi. Kamu selama ini udah jadi bintang,
jauh dibanding aku yang cuma pecundang.” Sekalinya keluar, kalimat-kalimat yang
ada di otakku itu langsung minta dilontarkan berkejaran.
Dia akhirnya menegakkan kepala,
tidak menunduk lagi. Meskipun begitu, dia tidak melihat kepadaku. Pandangannya
entah menuju ke mana, mungkin ke dunia lain yang sedari dulu dia bangun sendiri
itu. “Hati aku yang enggak akan berkembang kalau terus di sini.”
Tepat sasaran. Rasanya ada panah
yang tepat menusuk ke jantungku. Apa yang baru saja kudengar itu tak pernah
kubayangkan sebelumnya. Aku tak pernah menyangka dia akan mengatakan hal seperti
itu. Aku tahu apa yang dia maksud di balik kalimatnya itu. Sangat tahu.
“Ve,” panggilku agar dia melihat kepadaku,
“kamu benar-benar masih mencintaiku?”
Sambil melihat wajahku, dia
tersenyum kecil dan menjawab, “Kamu tahu sendiri jawabannya.”
“Tapi aku udah enggak cinta sama
kamu,” timpalku tanpa menatap matanya.
“Terus?” tanyanya seakan-akan
kalimat yang telah kuucapkan tidak ada artinya sama sekali.
Aku benar-benar sudah tak habis
pikir. Dia begitu keras kepala. “Mau sampai kapan kamu kayak gini?”
“Sampai ...,” katanya sembari
menatap jauh ke belakangku, “selamanya, mungkin.”
Aku melihatnya tersenyum. Meskipun
matanya mengarah pada suatu tempat yang entah di mana, aku benar-benar melihat
dia tersenyum. Senyum itu yang bagiku terlihat magis, senyum yang biasa kulihat
ketika dia menceritakan mimpinya padaku.
Harus bagaimana caranya agar dia
berhenti? Aku telah menyakitinya berkali-kali, tetapi dia mencintaiku seolah-olah
takkan pernah berhenti. “Gimana kalau nanti kamu kecewa?”
“Aku enggak peduli. Aku udah siap.”
Dia menjawab dengan percaya diri sambil menatap wajahku.
“Ve—”
“Ar.”
Belum sempat aku mengeluarkan dua
patah kata, dia telah mematahkan pelindung hatiku hanya dengan menyebut nama
panggilanku itu. Mungkin dia ingin membuatku merasakan apa yang dia rasakan
ketika aku memanggilnya dengan nama panggilan khusus tadi.
“Selama ini aku meyakini sesuatu.
Apa yang diucapkan lelaki untuk kali terakhir saat meninggalkan perempuan yang
dicintainya adalah apa yang benar-benar dirasakannya saat itu. Ar, saat kamu
meninggalkanku dulu, kamu bilang aku harus melupakanmu. Kamu tahu, Ar? Aku tak
mau mendengarkan permintaan yang tak bisa kupenuhi seumur hidup itu.”
Dia
kali ini berbicara cukup panjang dan aku merasa terlempar oleh waktu menuju
kejadian beberapa tahun lalu. Ya, aku mengatakan itu. Saat itu, entah kenapa
aku hanya ingin dia melupakanku. Aku hanya takingin dia terus berjuang untuk
seseorang yang tak pantas diperjuangkan sepertiku.
Tak
pernah aku tahu bahwa dia memiliki sebuah keyakinan tentang kalimat terakhir
itu. Ternyata selama ini yang paling dia ingat adalah permintaan yang bahkan
takingin didengarnya. Aku telah membuatnya sakit karena meninggalkannya dan
ternyata aku juga membuatnya terluka karena permintaanku. Astaga ..., apa yang
telah kulakukan selama ini? Bertahun-tahun dia menanggung semua itu sendiri.
Aku memberikan beban yang tak pernah bisa dia lepaskan.
Sebelum
aku sempat berkata, dia mengambil sekotak Honey Stars dan memberikannya padaku.
“Jangan lupa sarapan, jangan seperti pagi tadi,” katanya.
Aku
menerima pemberiannya dengan pandangan bertanya. Tahu dari mana dia kalau pagi
tadi aku tidak sarapan?
“Rion
masih latihan, kan?”
Aku mengangguk sebagai jawaban.
Dia
membalikkan badan sehingga membelakangiku, hendak berjalan untuk menemui Rion.
Namun, setelah dua langkah, dia berhenti.
Aku
melangkah mendekatinya dan dia tetap tidak bergerak. Aku taktahu apa yang
sedang dipikirkan dan dirasakannya sekarang. Aku hanya baru menyadari bahwa aku
merindukannya, teramat sangat. Ketika dia ada di hadapanku, baru kusadari
selama ini ada rindu yang menuntut sebuah temu. Sayangnya, pertemuan kali ini
akan berujung dengan perpisahan.
Ingin
sekali aku memeluknya, sungguh. Sebuah pelukan untuk pertama dan terakhir
kalinya. Aku ingin mendekapnya dengan erat agar kami selalu dekat. Sejak dulu,
aku tak pernah bisa memintanya untuk tetap di sisiku. Aku bahkan kini tak bisa
memohon padanya untuk tetap tinggal di hidupku.
“Arven, thank you. I’m sorry for
everything I’ve done.”
Mataku
membelalak. Kalimat itu langsung masuk ke dalam hatiku dibawa oleh angin yang
berembus melaluiku. Ada bagian yang hilang dariku. Aku merasa dia akan
benar-benar pergi, pergi jauh dan takkan pernah kembali.
Dia
hendak membalikkan tubuhnya dan aku sontak membalikkan tubuhku agar tidak
melihatnya lagi. Mungkin aku seperti anak kecil. Terserah. Aku hanya
benar-benar taktahu apa yang harus kulakukan sekarang. Seperti dia, aku pun
mematung, membelakangi dia yang kini menatap punggungku. Aku bisa merasakan
itu.
“Vega!”
Suara
Rion itu kontan membuatku menoleh ke sumber suara. Untung saja saat aku
menoleh, perempuan itu pun sedang menoleh pada Rion yang memanggilnya.
Aku
memperhatikan perempuan itu untuk kali terakhir lalu kembali memalingkan wajah.
Aku menarik napas lalu melangkah pelan menjauhi perempuan itu, tidak
menunggunya untuk melangkah terlebih dulu. Aku terus berjalan meninggalkannya
tanpa sekali pun menoleh ke belakang. Dadaku terasa sesak ketika jauh di dalam
hati aku berkata, I’ll always love you, my Honey Star.
No comments:
Post a comment