Mereka-reka aku dahulu kala, ketika
ragu mulai merayapi seutuh tubuh, membuat keyakinanku sedikitnya rapuh. Adalah
percaya yang masih tersisa, tetapi apa yang sebenarnya menahanku untuk tetap di
tempat yang sama? Segalanya telah berakhir, bukan? Kita—yang telah menjadi aku
dan kau—tak lagi memiliki apa-apa bagi berdua. Terpisah sudah, terentang,
terakhir aku melihat semburat senyummu entah kapan.
Pernah kaubilang, aku tetap tinggal
di hatimu meskipun semuanya telah berubah. Pernah kau jua ucapkan, seperti apa
pun nanti, kau yakin tetaplah cintaku untukmu. Manakala sewindu telah berlalu,
tentu bertanya-tanyalah aku. Mengapa bisa—dulu—kita sebegitu yakin? Mengapa
kita—dua sosok asing—begitu percaya satu sama lain? Bahkan, saat kita belum
tahu apa-apa, belum tahu apa yang menjelang, mengapa kita tak pernah takut?
Apakah karena semenjak mula, di antara kita tak ada kata garib, tetapi karib?
Ribuan malam telah kulewati tanpamu.
Mencoba aku layaknya dirimu; menautkan rasa pada sosok lain. Namun, sungguh,
senantiasa kau berkelebatan kapan pun aku ingin menguatkan perasaan. Bagaimana
mungkin penuh hatiku untuknya, sementara dirimu tak pernah memperkenankan itu?
Apakah hanya khayalku atau benarkah apa yang sama-sama aku dan kaukatakan tatkala itu? Langkahku dan langkahmu telah menuntun ke jalan yang berbeda,
begitu jauh, begitu lama, hingga tak ada lagi yang bisa tersentuh—kecuali atma.
Ternyata yang kulihat sejak kali
pertama menemukanmu bukanlah wajahmu, bukan pula dirimu, melainkan atmamu.
Sekali saja, aku cukup tahu; takbutuh aku kepada selainmu. Namun, waktu, terkadang
membuatku ingin memutarnya, mengembalikanku pada masa-masa itu—manakala kita
masih dua sosok yang tak memikirkan apa-apa selain rasa. Betapa lugunya saat
itu; kita begitu yakin akan mampu melewati apa pun bersama.
Janji yang pernah dibuat, yang
sepenuhnya milik kita berdua, kita lupakan sudah, kita batalkan hingga tinggallah
remah. Kata-kata yang pernah kita ucapkan dan dengar, berusaha kita tepiskan
demi kebaikan kau bersamanya dan aku bersama rasaku. Tak ada lagi yang bisa
diharapkan sebab aku dan kau telah memutuskan untuk berhenti.
Sayangnya, ada yang terluput dariku;
janji pada diri sendiri. Jauh sebelum segalanya terjadi, aku begitu yakin suatu
hari kau akan kembali. Akan tetapi, tahun telah berganti pun, tak ada kau yang
hadir di hidupku lagi. Redam hatiku, remuk yakinku, salah sudah aku mengartikan
pertanda. Dengan itu, aku berjanji pada diri sendiri; bilamana suatu hari kau
benarlah kembali, takkan pernah aku—sebagaimana pernah kulakukan—melepasmu dan pergi
menjauh lagi.
Engkau, belahan atmaku, dikirimkan
Tuhan untuk menjemputku yang telah pergi. Bukankah sebelumnya aku pun pernah
menyambutmu yang kembali? Sadarkah engkau akan itu? Kehadiranmu, nyatanya,
membuatku gagal menaruh rasa seutuhnya lagi. Kepada siapa pun, sungguh, tak
pernah berhasil barang sekali. Tuhan telah menyadarkanku bahwa sejak awal,
memang tak perlu selain engkau yang satu.
Perihal janji kepada diri sendiri,
apakah Tuhan akan menagihnya nanti tatkala atmaku tak lagi di dunia ini? Rupanya
kita—bagaimana pun kuhindari—kembali menapaki jalan yang ini-ini lagi. Ternyata
sesudah kita berpisah, di pengujungnya jalan hendak menyatukan. Langkah kita
kembali seirama, hati kita kembali yakin, atma
kita kembali bersama.
Tentang
kita, pernah kupikir sekadar hampir; hampir bersama, hampir bersatu, hampir
sama, hampir satu. Lebih dari segala hampir, yang membuatku kadang kala ingin
menjauh pergi dan melanggar janji pada diri sendiri ialah kita yang hampir
berakhir. Namun, kini kutemukan apa yang membuatku tetap berada di tempat yang
sama; kita yang tidak memiliki akhir. Demi purnama yang menyambut dan menjemput,
terlepas apakah bagimu kita—hampir—belahan atma atau bukan, aku dan kau telah
membuktikan apa yang terukir dalam dua hati yang naif dengan cinta sederhana.
Salam kunjungan dan follow disini ya :)
ReplyDeleteHalo. Terima kasih, ya ^_^
Delete