Sudah berapa tahun berlalu sejak tanya tak kunjung bertemu jawab? Begitu lama, bukan, mereka dijauhkan kenyataan? Apakah kini telah terlambat? Bolehkah aku menjawab pertanyaan yang bahkan mungkin tak lagi kauingat? Aku hanya merasa mungkin saat ini adalah waktu yang tepat. Setelah begitu banyak yang berserak, setelah hati tak lagi saling tertambat, setelah aku bergerak dengan cepat, semoga jawabanku dapat mengusir penat.
Dahulu aku bertanya padamu, kemudian
kau menjawabnya dengan sebuah tanya baru. Aku, rupanya, saking begitu sama
dengan dirimu, alih-alih menjawab, justru memunculkan pertanyaan untukmu. Jujur
saja, seketika itu, manakala kau malah melontarkan tanya, aku telah menangkap
sebuah jawaban. Namun, jawaban yang kudapatkan justru menghadirkan tanya yang
lain. Jadi, apakah kerumitan di antara kita selama ini bermula dari itu semua?
Pandai sekali engkau, yang tanpa
sadarku, menghalau diriku untuk memasuki sebuah labirin tanya. Padahal, begitu yakin
aku akan jawabanku saat itu. Sayangnya, dunia begitu suka membolak-balikkan
keadaan, menjauhkan yang telah merasa dekat, mendekatkan yang sudah susah payah
berusaha menjauh. Aku sudah menemukan jawabannya, tetapi mengapa selalu ada
pertanyaan baru?
Tentang kita, tentangmu, tentangku,
tentang segala yang kita tuju dan kita miliki sepanjang waktu, masih banyak
tanya yang tak terjawab. Alangkah malasnya kita mencari jawaban bersama, lebih
memilih untuk menekurinya masing-masing—karena telah hidup di dunia
masing-masing meski tak saling merasa asing. Bukankah kita selalu menyelesaikan
segalanya bersama?
Segalanya, termasuk kisah kita.
Sudah selesai, bukan? Kali ini, benar-benar selesai. Benang di antara kita, yang
bergulung dan membelit tak teratur, kita paksa urai hingga berakhir putus.
Begitu saja, tak ada lagi yang bisa kulakukan untuk menyatukan ujung benang ini
dengan milikmu. Seperti ini saja, kita berakhir tanpa benar-benar saling tahu
apa jawaban yang kita cari selama ini.
Kautahu? Betapa kelesa hatiku, takingin pergi lagi, tetapi harus. Sebuah jawaban itu, satu jawaban yang terpatri dalam diri, rupanya menjadi penyebab pergi sekaligus kembalinya aku ke dalam kisah ini. Kendatipun demikian, sebuah cerita memang selalu menghendaki akhir.
Satu jawaban itu hanya bisa
kutemukan di matamu, sebuah jawaban yang selalu tersingkap ketika sepasang
netra kita bertemu. Cinta. Tak ada kata. Tak ada yang lain. Hanya ada sebuah
jawaban—cinta. Begitu magis. Begitu manis. Akan tetapi, seiring berdetaknya
sang kala, kenyataan terasa begitu sadis.
Untuk diriku sendiri, yang berusaha
keluar dari labirin tanya, betapa sial saat harus memandang matamu dan mencari
jawaban itu. Masihkah ada cinta itu di sebalik matamu? Adakah yang tersisa di
sana tentangku? Apakah ada yang menemukan setitik kecil rasa itu tatkala kau
berusaha keras menyembunyikannya? Mengapa aku harus mengetahui jawabannya dari
kedua manik yang tak bisa lagi kuperhatikan dengan saksama?
Aku telah mendorongmu jauh ke belakang hatiku agar tak ada barang seorang yang menemukanmu dari balik mataku. Aku merahasiakanmu sedalam-dalamnya perasaanku. Hanya dengan pergi aku bisa membiarkanmu bebas ke sana kemari di dalam diri ini. Engkau, sungguh, tak pernah mau keluar, bukan? Bersemayam dalam jiwaku adalah keniscayaan jiwamu.
Aku selesai dengan ini, dari semua
ini. Jika memang ini sejatinya jawaban yang kuterima, tak lagi ada yang akan
kupertaruhkan. Sekerlip cahaya ingin aku salah menafsirkan pesan langit, tetapi
aku harus keluar dari labirin ini sekarang, sebagai pemenang. Kita, atma yang
sepasang, sama-sama pejuang dan pemenang, dari segala yang mengadang setelah mencoba menyeberang.
No comments:
Post a comment